Biografi KH SYUKRON MA’MUN

534327_275938709175094_1327390976_n

ADALAH SOSOK PANUTAN UMMAT DAN MURIDNYA

Kalau saja tidak bercita-cita jadi kyai, KH. Syukron Ma’mun barangkali menjadi guru SD. Selepas sekolah guru di Madura, anak kedua dari 14 bersaudara ini akhirnya mengabaikan SK pengangkatan sebagai guru dan memilih memperdalam agama Islam. Hal ini memang sesuai dengan keinginan ayahnya, seorang kyai.

Di Pesantren Salafiah, Pasuruan, Jawa Timur, beliau menimba ilmu dari kitab kuning selama dua tahun, kemudian melanjutkan ke Pesantren Gontor, Ponorogo. Setelah sembilan tahun di Gontor-lima tahun menimba ilmu, empat tahun mengajar-anak Sampang Madura itu masuk Institut Darusalam, masih di Gontor. Ia sarjana angkatan pertama dari perguruan Gontor. Kelak di kemudian hari, ilmu yang ditimba dari dua pesantren itu dikombinasikan di Pesantren Daarul Rahman, Jakarta, yang dipimpinnya.

Hijrahnya dari Gontor ke Jakarta berkat ajakan KH. Idham Khalid, menteri agama dan juga Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama di zaman Presiden Sukarno. Tinggal satu rumah dengan Kyai Idham, kyai Syukron berkesempatan belajar politik dan organisasi darinya. Saat itu ada keinginan untuk pergi keluar negeri. Tapi, karena mulai sering sibuk dalam kegiatan sosial, katanya, “Akhirnya saya memutuskan berkecimpung di masyarakat saja, ke masjid-masjid.” Dalam benaknya, walaupun belajar ke luar negeri seperti ke Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir, pulangnya ke masjid juga.

Jalan lempang untuk mendirikan pondok pesantren terbuka setelah menikah dengan Afifah Noer, pada 1971 Oleh H. Abdurahman Naedi, orang Betawi asli yang punya tanah luas, beliau diberi lahan di Jalan Senopati, Jakarta Selatan. Di atas tanah itu, beliau dan rekan-rekannya yaitu, KH. Antung Ghozali, BA (Senior beliau Di Gontor), KH. Abdul Qodir Rahman (Putra H. Abdurrahman Naedi), KH. Masyhuri Baidlowi, MA memulai dengan membangun madrasah ibtidaiyah, kemudian pada 1975 beliau mendirikan (dan sekalian mengasuh) Pondok Pesantren Daarul Rahman. Pesantren ini menggunakan sistem pendidikan gabungan antara kurikulum Pesantren Salafiah (tradisional) dan Pesantren Gontor, Ponorogo(modern).

Dari Gontor beliau memperoleh kemahiran berbahasa Arab dan berbahasa Inggris serta cara-cara berorganisasi, sedangkan dari Salafiah beliaau mendalami kitab-kitab kuning. Tapi, karena menggunakan kurikulum sendiri dan tidak ikut ujian negara, ijazah dari Daarul Rahman tidak diakui pemerintah Orde Baru. Barulah setelah melalui perjuangan panjang, Menteri Pendidikan Nasional di zaman reformasi, Malik Fajar, mengeluarkan SK bahwa Daarul Rahman tidak usah ikut kurikulum pemerintah, tidak usah ikut EBTA /EBTANAS, cukup menjalankan kurikulum yang ada di Pondok tapi ijazahnya disamakan sebagai ijazah negeri.

Dalam pandangan Pak Kyai Syukron, penyeragaman kurikulum dapat mengakibatkan orang mengabaikan kualitas. “Mestinya pemerintah membebaskan kurikukum, baru nanti pemerintah yang melaksanakan ujian negara,” katanya. Ia pun mencontohkan Universitas Al-Azhar dan California University (Amerika Serikat) yang tidak menggunakan kurikulum pemerintah, tapi berpacu untuk maju hingga diakui oleh masyarakat. “Yang paling penting bagi pendidikan adalah pengakuan masyarakat,” ia menegaskan.
Saat ini, selain tetap mengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, Depok, dan Bogor, beliau aktif di organisasi politik mulai partai NU (Nahdlatul Ulama), beliau termasuk pendiri PPP, pada tahun 1998 mendirikan PNU (Partai Nadlatul Ummah) kemudian berganti baju menjadi PPNUI, dan pada tahun 2008 beliau pulang kandang ke PPP atas permintaan Ketua Umum PPP dengan MoU.

Pendiri dan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) Kyai Haji Syukron Makmun ternyata beliau sosok pemimpin yang bersahaya dan tidak rakus kekuasaan dan jabatan, ” Saya mendirikan partai politik bukan untuk mencari kekuasaan atau jabatan, tapi untuk berdakwah bagaimana cara berpolitik yang santun dan berakhlak” katanya. Dan tatkala beliau diminta untuk bergabung kembali ke rumah PPP, beliau tidak asal bergabung ke Partai Persatuan Pembangnan (PPP). Ada MoU atau perjanjian yang harus disepakati bersama. “Saya masuk ke PPP pakai MoU jadi tidak sembarangan. Karena saya prihatin dengan puluhan partai yang ada saat ini banyak partai Islam yang justru masih partai kecil, jadi suaranya tak bisa bersatu untuk pembaharuan,” tutur KH Syukron Makmun seusai jumpa pers di kantor DPP PPP, Jalan Diponegoro, Jakarta, hari ini (Jum`at, 23 Januari 2009, red).

Adapun isi Memorandum of Understanding (MoU) yang telah disepakati:

-Pertama supaya PPP konsisten dengan visi dan misinya.
-Kedua, agama dalam hal ini agama Islam hendaknya tak dijadikan alat bagi parpol untuk memperoleh suara.
-Ketiga, saya ingin PPP melakukan penyegaran, artinya dalam hal kepengurusan ada regenerasi, ada jangka waktu dari pengurus yang menjadi anggota legislatif yakni 2 atau 3 periode saja,” tegas Kyai Syukron Makmun.

Melalui partai yang berlandaskan Islam ini, ia ingin mengabdi pada negara dengan memberikan masukan di bidang hukum, ekonomi, dan lain-lain. Menurut dia, secara ekonomi, Indonesia sudah sangat bergantung pada luar negeri. Soal penegakan hukum yang belum juga membaik, ia berpendapat bahwa hukum di Indonesia, yang merupakan warisan kolonial Belanda, sudah tidak berwibawa. “Makanya buat hukum alternatif yang berwibawa,” katanya, lalu melanjutkan, “insya Allah, hukum yang berwibawa itu hukum Islam.”

Walau demikian, ia merasa tidak perlu mendirikan negara Islam. Yang penting, kata pendiri IPNU Sampang ini, bagaimana syariat Islam itu berlaku.

Sebagai pemimpin, kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. “Orang-orang Islam itu seharusnya takut jadi pemimpin, kalau dia mengerti,” ujarnya. “Dalam Islam, kalau dipercaya jadi pemimpin jangan ditolak. Tapi jangan pula meminta, karena tanggungjawabnya berat.”

Beliau tidak berniat berbisnis. Katanya, asal bisa hidup dengan keluarga itu sudah cukup. “Tidak membayangkan menjadi konglomerat, bukan bakat saya,” ujarnya.

Meski sibuk, ia merasa tak ada masalah dengan pengaturan waktu. “Dakwah jalan. Keluar negeri, jalan,” tuturnya. Demikian pula dengan mendidik anak-anaknya. “Saya di rumah sebagai suri teladan, bagaimana saya shalat, mengajar, kan semua suri teladan bagi anak-anak saya.”

About Anas Nurhafidz

don't mind me

Posted on April 19, 2013, in MasakanNyokap and tagged , , , , . Bookmark the permalink. 2 Comments.

  1. ini sangat berguna sekali bagi para generasi kita, dari hari kehari,tahun ke tahun, sampai puluhan th beliau berjuang sampai sa’at ini tentunya banyak aral dan rintangan yg harus d dobrak dgn penuh kesabaran.
    Ea pokoknya good luch dunia akhrat buat guru kita ini amiin…

  2. Alhamdulillah,saya bertemu dgn sosok guru besar,ulama yg istiqomah seperti KH.Syukron ma’mun diponpes Daarul islah (buncit raya-kalibata psr.minggu)dlm acara maulud Nabi SAW.25/12/14.
    Dakwah beliau sgt dibutuhkan saat2 ini apalagi sbgai pemuda yg merasa byk paham2 aqidah islam.beliau menitikberatkan sikap bertoleransi yg tdk keliru,bahkan toleransi sesama islam yg beda syareat,juga toleransi beda agama dgn menghargai namun tetap menyakini bahwa hanya islam agama satu2nya yg di ridhoi Allah SWT.
    Tdk dipungkiri beliau menyatakan era skrg adalah dimana perang peradaban,org2 kafir misionaris berupaya agar peradaban islam tidak terjadi di indonesia.dgn sgla upaya,pemikiran dan pemahaman yg buat keliru serta politik adu domba dilakukan.namun KH.Syukron menyatakan meski usia beliau sdh 74tahun,apabila ada pihak2 yg mau merusak aqidah serta nilai2 islam,beliau akan menjadi seseorang yg berjihad layaknya masih usia 47 tahun,subhanallah,allahu akbar!!!
    Semoga ayahnda KH.Syukron ma’mun senantiasa diberi kesehatan dlm berdakwah,hingga kebenaran ttg nilai2 islam menjadi lebih dipahami saudara2 semuslim dan se aqidah…amiieen Ya Rabbal alamin.
    Akhirul kalam,tetap istiqomah Pak Kyai,saya semakin jelas tuk melangkah tata cara hidup yg Allah ridho demi bekal diakherat nanti,wa salamualaikum wr.wb.

Berikan Komentar Anda Tentang Artikel Ini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.